Genap sudah
dua bulan sejak kita memutuskan untuk tak lagi berjalan bersama setelah satu
tahun ini. Aku tahu, satu tahun itu bukan waktu yang sebentar namun bukan juga
waktu yang lama. Kenapa? Buktinya kita masih tak cukup saling mengenal satu sama
lain. Padahal, satu tahun lebih kita bersama. Tepatnya duapuluh dua bulan. Aku lelah
olehmu, sikapmu. Dirimu yang selalu lari dari masalah, memperbesar masalah
kecil, lalu marah dan bualan-bualan yang kau buat ketika kita bertengkar. Namun
aku rindu. Aku rindu sikap malumu ketika aku menari sambil bernyanyi
memandangimu. Aku rindu sikap manjamu yang seakan tak pernah ingin jauh dariku
ketika kita duduk bersebelahan. Aku rindu pukulan ringan yang selalu kau lempar
ketika aku membuatmu tertawa. Sudah dua bulan semua hal itu hilang. Kita tak
lagi bicara, saling tatap-pun tidak. Meski aku tahu kau ingin menyapa.
Aku benci
memandangmu, aku benci untuk harus dan ingin berbicara denganmu. Setiap kali
kita berpapasan, rasa rindu dan ingin memeluk yang tersampaikan muncul. Dan aku
membencinya. Setiap kali aku terdiam dan terpikirmu, hatiku sakit teringat apa
yang sudah kamu, kita lakukan selama duapuluh dua bulan itu hilang begitu saja.
Karena itu lah aku tak ingin melihat dan bahkan mengingatmu meskipun rasa rindu
ini menusukku sampai ke tulang.
Dua bulan
ini aku terbelenggu dalam kesedihan. Rasa rindu yang tak tersampaikan menusuk
perih sampai ke tulang. Meremas jantung yang kau tahu lemah. Aku tak tahan
menahan perih ini, aku mencari penggantimu, namun gagal. Secara mendadak dia pergi
ketika aku baru saja lupa akan kehadiranmu. Namun kini, dirimu mengusik
mimpi-mimpiku lagi. Aku yang biasanya berbicara denganmu setiap pulang dan
pergi sekolah harus merasa kesepian karena bosan harus berdiam diri di atas
motor. Aku mencari penggantimu. Musik. Aku selalu mendengarkan musik setiap aku
berada di atas motor sendirian, bernyanyi, berteriak tanpa malu di tengah jalan
raya menghilangkan rasa kosong pada perut yang biasa kan peluk, pada dadaku
yang biasa kau elus. Tapi kau tak tergantikan. Terkadang aku merasa aku ingin
pandai bermain gitar. Bukan untuk ketenaran, tapi untukmu. Aku berharap
kesedihan yang membelenggu ini dapat aku sampaikan kepadamu dengan bernyanyi
sambil bermain gitar. Kenapa tak bicara
langsung? Aku takut.
Aku benci
untuk jujur, mungkin karena itulah setiap kali kau bertanya,”kamu kangen aku?”
atau “kamu masih sayang ngga sih?” aku
tak ingin jawab. Aku takut akan reaksi. Aku takut apa yang akan aku menerima
reaksi buruk dari kejujuran yang aku katakan. Sebagai contoh, bagaimana jika
kau telah menemukan orang lain tapi karena aku menjawab “iya” ketika kamu
menanyakan salah satu dari pertanyaan di atas, kamu lebih memilih aku karena
merasa kasihan. Karena merasa kamu sudah terbiasa dengan pelukanku. Karena suatu
alasan selain bukan cinta yang murni. Aku takut akan itu.
Rasa rindu
ini tak sanggup lagi ku tahan. Ingin ku tetes kan air mata karena perihnya,
namun rasanya berat. Aku hanya ingin menangis dalam pelukmu. Itu janjiku. Tapi maaf,
malam ini, aku tak sanggup lagi memegang janjiku. Berselimut dinginnya malam
hari ini karena hujan, aku teteskan air mataku tanpa pelukmu. Aku rindu. Dalam surat
ini, aku katakan isi hatiku yang tak pernah sanggup ku sampaikan. Maafkan aku
sayang.
Aku rindu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar